BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemerdekaan bangsa Indonesia adalah cita-cita rakyat Indonesia yang
telah berhasil dicapai. Namun biarpun telah merdeka dan diakui di
mata dunia bangsa Indonesia pada saat itu harus menentukan masa
depannya sendiri. Pada masa itu di samping kemerdekaan telah diraih
disisi lain banyak terdapat kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, dan
tradisi-tradisi otoriter, maka banyak hal yang bergantung pada kearifan
dan nasib baik pemimpin negeri. Dalam tahun 1950 kendali pemerintah masih di
tangan kaum nasionalis perkotaan dari generasi yang lebih tua dari
partai-partai sekuler. Masalah-masalah sosial yang dihadapi bangsa
Indonesia setelah terlepas dari belenggu penjajah, sisa-sisa penderitaan rakyat
mendorong para elite negeri untuk segera melakukan penataan dalam hal
pemerintahan dan institusi.
Untuk itu pada tahun 1950 Indonesia membentuk suatu sistem pemerintahan
yaitu sistem demokrasi parlementer. Namun kenyataannya bahwa demokrasi
parlementer masih belum bisa untuk menyelesaikan masalah-masalah yang
masih terjadi di Indonesia dalam bidang ekonomi walaupun politik. Banyak
terjadi korupsi, kesatuan wilayah mulai terancam, keadilan sosial belum
tercapai, dll. Karena pada masa Demokrasi Parlementer,
kondisi Indonesia rentan dan masih banyak masalah-masalah yang belum
terselesaikan maka diberlakukanlah Demokrasi Terpimpin, yang adalah
sebuah demokrasi yang sempat ada di Indonesia, yang seluruh keputusan
serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya saja. Pada bulan 5 Juli 1959 parlemen
dibubarkan dan Presiden Soekarno menetapkan konstitusi di bawah
dekrit presiden. Soekarno juga membubarkan Konstituante yang ditugasi untuk
menyusun Undang-Undang Dasar yang baru, dan sebaliknya menyatakan
diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945 dengan semboyan "Kembali
ke UUD '45". Soekarno memperkuat tangan Angkatan Bersenjata dengan
mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Oleh karena itu,
penulis akan membahas demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin secara
lebih lanjut dan juga kekuatan dan kelemahan masing-masing sistem
pemerintahan yang berlaku di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, penulis menentukan beberapa rumusan masalah yaitu :
- Apa saja kelebihan sistem perlementer dan sistem demokrasi terpimpin terhadap kehidupan ekonomi dan politik bangsa Indonesia?
- Manakah sistem demokrasi yang lebih baik dalam memajukan kehidupan politik dan ekonomi bangsa Indonesia?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, penulis memiliki beberapa tujuan yang hendak dicapai, antara lain:
- Mengetahui kekuatan dan kelemahan masing-masing sistem demokrasi terhadap kehidupan politik dan ekonomi Indonesia.
- Mengetahui manakah sistem demokrasi yang lebih berpengaruh dalam memajukan kehidupan poltik Indonesia
- Mengetahui manakah sistem demokrasi yang lebih berpengaruh dalam memajukan kehidupan ekonomi Indonesia
1.4 Manfaat
Melalui penulisan karya ilmiah ini, penulis
mengharapkan agar makalah ini dapat bermanfaat bagi siswa, masyaralat,
pemerintah yaitu :
- Membuka pemikiran siswa sebagai generasi penerus bangsa tentang sistem pemerintah demokrasi di Indonesia yang baik dan benar
- Memperluas wawasan masyarakat tentang sistem pemerintahan demokrasi yang pernah berlaku di Indonesia
- Membantu pemerintah dalam menilai apakah sistem pemerintahan sekarang sudah lebih baik dari sebelumnya
- BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Demokrasi Parlementer
Sistem parlementer
adalah sebuah
sistem pemerintahan di mana parlemen memiliki peranan penting dalam
pemerintahan. Dalam
hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan
parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan
cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Sistem parlementer
dibedakan oleh cabang eksekutif pemerintah tergantung dari dukungan
secara
langsung atau tidak langsung cabang legislatif atau parlemen,
sering dikemukakan melalui sebuah veto keyakinan. Oleh
karena itu, tidak ada pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang
eksekutif dan cabang legislatif, menuju kritikan dari beberapa yang
merasa
kurangnya pemeriksaan dan keseimbangan yang ditemukan dalam sebuah
republik
kepresidenan.
Kelebihan
Sistem Pemerintahan Parlementer:
- Pembuat kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai.
- Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik jelas.
- Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi barhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.
Kekurangan
Sistem Pemerintahan Parlementer:
- Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
- Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bisa ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar.
- Kabinet dapat mengendalikan parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai meyoritas. Karena pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat mengusai parlemen.
- Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan manjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.
Ditinjau dari sisi politik,
Demokrasi Parlementer diwarnai oleh pemerintahan dengan tujuh masa kabinet yang
berbeda, kabinet-kabinet ini bertanggung jawab secara langsung kepada parlemen.
Namun, kinerja kabinet sering mengalami deadlock dan ditentang oleh parlemen.
Hal itu disebabkan oleh kelompok oposisi yang kuat sehingga mengakibatkan
timbulnya konflik kepentingan dalam proses perumusan kebijakan Negara. Ketujuh
kabinet tersebut antara lain :
1. Kabinet
Natsir (6-09-1950 sampai 18-04-1951)
Berhasil memetakan
politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif selain itu Indonesia juga
masuk menjadi anggota PBB. Namun Kabinet Natsir gagal melakukan perundingan
dengan Belanda tentang masalah Irian Barat dan mengakibatkan muncul mosi tidak
percaya Kabinet Natsir di parlemen.
2. Kabinet
Sukiman ( 26-04-1951 sampai 1952)
Dalam masa kabinet ini,
banyak hambatan yang terjadi seperti keamanan Negara belum stabil, adanya persetuan
antar berbagai elemen politik dan permasalahan politik luar neger Indonesia.
Kabinet ini gagal dalam menangani masalah kemanan karena membuat Indonesia
memihak kepada Blok Barat dengan menandatangani Mutual Security Act dengan
Amerika Serikat.
3. Kabinet
Wilopo (19-03-1952 sampai Juni 1953)
Kabinet ini juga
memiliki banyak hambatan dalam menjalankan tugasnya antara lain munculnya sentimen
kedaerahan, adanya konflik di tubuh angkatan darat, dan terjadinya peristiwa
Tanjung Morawa. Karena banyaknya hambatan, kabinet ini berakhir dengan
pengembalian mandate oleh Wilopo.
4. Kabinet
Ali Sastroamidjojo (31-07-1953 sampai 24-07-1955)
Berhasil menyusun
kerangka panitia pelaksanaan pemilu, sukses melaksanakan Konferensi Asia
Afrika, membaiknya hubungan dengan Cina. Namun, kabinet ini harus bubar karenan
gagal dalam memperjuangkan Irian barat ke dalam Negara Indonesia, muncul banyak
pemberontakan, dan berlanjutnya konflik di tubuh Angkatan Darat.
5. Kabinet
Burhanuddin Harahap (Agustus 1955 sampai 3-03-1956)
Berhasil
menyelenggarakan pemilu tahun 1955, membubarkan Uni Indonesia-Belanda, dan
berhasil menentukan sistem parlemen di Indonesia. Namun, kabinet ini harus
bubar karena terjadi banyak perseteruan antara pemenang pemilu yang menyebabkan
siding parlemen menjadi deadlock.
6. Kabinet
Ali Sastroamidjojo II ( 24-03-1956 sampai 14-03-1957)
Berhasil mengalihkan
perusahaan Belanda menjadi milik warga Tionghoa namun kabinet ini harus bubar
karena muncul sentiment anti-cina dan muncul kekecewaan pemerintah terhadap
pemerintah pusat, serta munculnya gerakan separatis di berbagai daerah.
7. Kabinet
Karya (9-04-1957 sampai 10-07-1959)
Berhasil membersihkan
pejabat-pejabat yang melakukan korupsi, berhasil membentuk dewan nasional penampung
aspirasi rakyat, menetapkan peraturan kelautan yang tertuang dalam Deklarasi
Djuanda. Namun, kabinet ini harus bubar karena terjadi banyak pemberontakan
separatis di daerah-daerah.
Sistem
Parlementer juga diwarnai dengan gagalnya konstituante (lembaga pembentuk UUD)
dalam membuat UUD yang baru bagi Indonesia. Pada 20 November 1956 konstituante
mulai bersidang untuk pertama kalinya dan Soekarno memberikan kewenangan untuk
menyusun UUD tanpa adanya batas masa kerja.
Pada tanggal 29 Mei 1959 ada usulan
dari kelompok islam untuk memasukan kembali butir Piagam Jakarta yang
menyatakan “dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”
di dalam preambule UUD 1945. Ketika diambil pengambilan suara tidak mencapai kuorum yang seharusnya 2/3 dari total
suara yang hadir. Maka dari itu, Konstituate pun mengadakan pemungutan suara kembali
pada 30 Mei 1959 dan tidak juga memenuhi kuorum dan dilaksanakan kembali pada 2
Juni 1959 dan tidak mencapai kuorum kembali. Maka dari itu, pada 3 Juni 1959
konstituante memutuskan untuk reses.
Ditinjau
dari sisi ekonomi, adanya proses nasionalisasi ekonomi yang
dilakukan pemerintah, yaitu nasionalisasi de Javasche Bank menjadi Bank
Indonesia, pembentukan Bank Indonesia, dam memberlakukan Oeang Repoeblik
Indonesia (ORI). Pembentukan Bank Negara Indonesia sebagai bank nasional
pertama Indonesia dukukuhkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2/1946
yang terjadi pada 5 Juli 1946 yang berisi tentang Bank Indonesia yang berfungsi
sebagai bank sentral dan sirkulasi.
UU itu diperkuat dengan UU No.
11/1953 dan Lembaran Negara No. 40 yang menyatakan bahwa menteri keuangan,
perekonomian, dan gubernur bank menjadi direksi yang berfungsi melancarkan
percepatan peningkatan taraf ekonomi dan moneter Negara. Selain itu, pemerintah
melakukan nasionalisasi mata uang dengan menukar mata uang Jepang ke mata uang
Indonesia yang disebut dengan Oeang Repoeblik Indonesia pada tanggal 1-10-1946
dan dikukuhkan dalam UU No. 17/1946 dan UU No. 19/1946.
Pada masa demokrasi ini, proses
nasionaliasai ekonomi Indonesia tidak berjalan lancar karena konflik
kepentingan politik antarkelompok di dalam tubuh konstituante dan parlemen.
Sebagai contoh dapat terlihat pada masa Kabinet Ali II. Dengan
ditandatanganinya UU Pembatalan Konferensi Meja Bundar oleh Soekarno berakibat
pindahnya aset-aset modal yang dimiliki pengusaha Belanda ke tangan pengusaha
nonpribumi. Hal ini berdampak pada kondisi sosial yang timpang. Maka dari itu,
Kongres Nasional Importir Indonesia mengeluarkan sebuah kebijakan Gerakan
Assaat yang mendorong pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang dapat
melindungi pengusaha pribumi dalam berdaya saing dengan pengusaha nonpribumi.
2.2 Demokrasi Terpimpin
Untuk menangani masalah-masalah yang masih ada, Indonesia merubah sistem pemerintahannya menjadi Demokrasi Terpimpin. Tetapi, dalam masa Demokrasi Terpimpin tidak semua masalah terpecahkan, bahkan ada masalah-masalah lain yang bertambah. Semua masalah ini terjadi karena pemerintah memegang seluruh kendali, dan terjadinya pertentangan antara kebijakan dari presiden dan kebijakan berdasar undang-undang yang terjadi karena presiden memiliki kewenangan dalam membuat peraturan yang setingkat dengan undang-undang.
Pada dasarnya, perkembangan kehidupan perekonomian dalam Demokrasi Terpimpin adalah pengembangan rencana-rencana pembangunan di masa demokrasi parlementer. Dewan Perancang Nasional yang sudah ada sejak kabinet Djuanda (Demokrasi Parlementer) bertugas meningkatkan taraf ekonomi bangsa. Dewan Perancang Nasional ini bertugas dalam mempersiapkan rancangan UU Pembangunan Nasional Indonesia yang berencana dan bertahap, serta mengawasi dan menilai penyelenggaraan proses pembangunan. Tugas Dewan Perancang Nasional ini ditetapkan dalam UU No. 80/1958 dan Peraturan Pemerintah No. 2/1958. Kebijakan-kebijakannya mulai diterapkan pada 1959, ketika diresmikan serta dipimpin oleh Moh. Yamin.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, pemerintah menjalankan "Sistem Lisensi" dimana hanya orang-orang dengan lisensi khusus pemerintah sajalah yang dapat melakukan kegiatan ekonomi (terutama impr). Setelah itu, pemerintah juga mengumumkan Deklarasi Ekonomi (DEKON) yang mengandung peraturan eskpor impor, dan masalah penetapan harga. Tetapi, DEKON gagal mengatasi masalah ekonomi yang ada di Indonesia saat itu.
Pada tahun 1959, terjadi inflasi tinggi. Untuk mengatasinya, dibuatlah kebijakan perekonomian, yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3/1959 yang menetapkan pembekuan sebagian simpanan uang di bank-bank untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat, dan juga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 6/1959 yang menyatakan bahwa uang kertas yang masih berlaku dan telah dikonversi harus ditukar dengan uang kertas yang baru sebelum 1 Januari 1959.
Pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut mengakibatkan beberapa kendala. Pemerintah kemudian membentuk Panitia Penampung Operasi Keuangan (PPOK) untuk menangani masalah-masalah yang timbul. Tugas PPOK adalah untuk menindaklanjuti dampak pelaksanaan kebijakan perekonomian. Selain itu, pemerintah juga mengetatkan anggaran negara, dan mengawasi kinerja manajemen dan administrasi perusahaan swasta agar aliran dana kredit rupiah dapat mengalir lancar untuk membiayai kebijakan-kebijakan untuk kehidupan rakyat.
Setelah 4 bulan dijalankan, kondisi perekonomian membaik. Tetapi kondisi kembali memburuk pada Desember 1959. Kemunduran ini terjadi antara lain karena meningginya kembali peredaran uang di masyarakat, dan proyek mercusuar Ganefo (Games of the New Emerging Forces) pada 1962 yang menghabiskan banyak dana sehingga pembangunan moneter tidak diprioritaskan. Untuk menangani masalah ini, pemerintah mengubah Dewan Perancang Nasional menjadi Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk menyusun rencana perekonomian jangka panjang, mengawasi pelaksanaan pembangunan, juga mempersiapkan dan menilai mandataris untuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
Selain membentuk Bappenas, pemerintah juga megeluarkan beberapa kebijakan, yaitu Penetapan Presiden No. 7/1965 yang menetapkan pendirian Bank Tuggal Milik Negara yang bertujuan menyediakan wadah bagi arus perputaran siklus antarbank sentral dan umum, dan Penetapan Presiden RI No. 27/1965, 13 Desember 1965 tentang pengeluaran uang baru yang bernilai 1000 kali yang lama. Pengeluaran uang baru ini tidak memperbaiki masalah yang ada, tetapi sebaliknya mengakibatkan kemunduran ekonomi karena penurunan nilai uang dan pengeluaran pemerintah yang bertambah. Perekonomian Indonesia semakin mundur hingga tahun 1966.
Dalam bidang politik, perpindahan Demokrasi Parlementer menjadi Demokrasi Terpimpin ditandai oleh terpicunya potensi konflik internal. Hal ini disebabkan oleh tingginya benturan kepentingan antarkelompok politik di Indonesia. Puncaknya adalah dibubarkannya Konstituante karena kegagalan membuat Undang-Undang. Untuk mengatasinya, dikeluarkanlah Prt/Perperu/040/1959 yang berisi larangan bagi seluruh kegiatan atau aktivitas politik yang mulai berlaku sejak 3 Juni 1959. Kebuntuan kinerja konstituante ditutup dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit Presiden ini menyatakan pembubaran Konstituante, tidak berlakunya UUDS 1959 dan pemberlakuan kembali UUD 1945 sebagai UU resmi Negara Republik Indonesia, serta pembentukan MPRS dan DPAS dalam tempo secepatnya.
Pada 10 Juli 1959, presiden membentuk Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden Soekarno sebagai perdana menteri, dan Ir. Djuanda sebagai wakilnya. Kabinet Kerja ini dibuat untuk mengatasi keamanan dalam negeri, pembebasan Irian Barat, dan peningkatan produksi sandang pangan.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, semua lembaga harus berasal dari aliran NASAKOM (nasionalis, agama, dan komunis). Selain itu, menurut Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 tentang pembentukan MPRS, anggota-anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh presiden, dan harus memenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat anggota MPRS antara lain harus setuju kembali kepada UUD 1945, setuju pada perjuangan RI, dan setuju dengan Manifesto Politik. Selain MPRS, presiden juga membentuk badan-badan lain seperti Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Dewan Perancang Nasional (DEPERNAS), dan Front Nasional.
Pada upacara Peringatan Hari Proklamasi tanggal17 Agustus 1959, presiden Soekarno membawakan pidato dengan judul "Penemuan Kembali Revolusi Kita" yang berupa penjelasan dan pertanggungjawaban atas Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, serta garis kebijaksanaan presiden dalam mencanangkan Demokrasi Terpimpin. Kemudian, dalam sidang DPA pada September 1959, DPA mengusulkan agar pidato tersebut dijadikan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dengan nama Manifesto Politik Republik Indonesia (MANIPOL). Presiden Soekarno kemudian menerima usul ini.
Pada 5 Maret 1960, DPR dibubarkan berdasarkan hasil pemilu, dan digantikan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) pada Juni 1960. Anggota-anggota DPR-GR seluruhnya ditunjuk oleh presiden. Pada upacara pelantikan anggota DPR-GR, 25 Juni 1960, presiden menegaskan bahwa tugas DPR-GR adalah melaksanakan MANIPOL, merealisasti Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA), dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Kebijakan presiden ini menimbulkan reaksi dari partai-partai tertentu. Mereka merasa keberatan terhadap pembubaran DPR dan akan menarik pencalonan anggota-anggotanya yang duduk dalam DPR-GR. Para tokoh ini kemudian membentuk Liga Demokrasi, tetapi kinjera Liga Demokrasi kurang baik karena ketidaksamaan pendapat antara tokoh-tokoh partai politik tersebut. Presiden Soekarno kemudian mendirikan Front Nasional melalui Penetapan Presiden No. 13 Tahun 1959 dan diketuai oleh presiden sendiri. Front Nasional adalah organisasi yang memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita UUD 1945.
Selama periode Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin, Partai Komunis Indonesia (PKI) berusaha menempatkan diri dalam golongan yang menerima Pancasila sebagai dasar negara. Hal itu merupakan taktik PKI untuk mengambil alih kekuasaan di Indonesia. Kekuatan politik Indonesia saat itu terpusat pada tangan Presiden Soekarno, TNI AD, dan PKI. NASAKOM yang sebenarnya dimaksudkan merangkul kekuatan-kekuatan politik yang terus bersaing ternyata menguntungkan PKI. Kedudukan PKI kemudian semakin kuat, dan penghargaan pemerintah terhadap PKI terus bertambah. Hal ini terbukti dalam penempatan PKI di barisan depan Demokrasi Terpimpin oleh Presiden Soekarno. Selanjutnya, MANIPOL ditetapkan sebagai satu-satunya ajaran atau doktrin revolusi Indonesia. Fungsi Pancasila sebagai dasar negara menjadi kabur, dan situasi ini dimanfaatkan PKI untuk mengecilkan arti Pancasila.
Ternyata masalah ekonomi dan politik dalam Demokrasi Parlementer tidak semuanya terpecahkan dalam masa Demokrasi Terpimpin. Pada masa Demokrasi Terpimpin malah terbentuk masalah-masalah lain. Situasi yang mulai membaik kemudian menjadi semakin buruk dan menjadi sangat buruk. Padahal, perubahan sistem pemerintahan ini dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan negara.
Untuk menangani masalah-masalah yang masih ada, Indonesia merubah sistem pemerintahannya menjadi Demokrasi Terpimpin. Tetapi, dalam masa Demokrasi Terpimpin tidak semua masalah terpecahkan, bahkan ada masalah-masalah lain yang bertambah. Semua masalah ini terjadi karena pemerintah memegang seluruh kendali, dan terjadinya pertentangan antara kebijakan dari presiden dan kebijakan berdasar undang-undang yang terjadi karena presiden memiliki kewenangan dalam membuat peraturan yang setingkat dengan undang-undang.
Pada dasarnya, perkembangan kehidupan perekonomian dalam Demokrasi Terpimpin adalah pengembangan rencana-rencana pembangunan di masa demokrasi parlementer. Dewan Perancang Nasional yang sudah ada sejak kabinet Djuanda (Demokrasi Parlementer) bertugas meningkatkan taraf ekonomi bangsa. Dewan Perancang Nasional ini bertugas dalam mempersiapkan rancangan UU Pembangunan Nasional Indonesia yang berencana dan bertahap, serta mengawasi dan menilai penyelenggaraan proses pembangunan. Tugas Dewan Perancang Nasional ini ditetapkan dalam UU No. 80/1958 dan Peraturan Pemerintah No. 2/1958. Kebijakan-kebijakannya mulai diterapkan pada 1959, ketika diresmikan serta dipimpin oleh Moh. Yamin.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, pemerintah menjalankan "Sistem Lisensi" dimana hanya orang-orang dengan lisensi khusus pemerintah sajalah yang dapat melakukan kegiatan ekonomi (terutama impr). Setelah itu, pemerintah juga mengumumkan Deklarasi Ekonomi (DEKON) yang mengandung peraturan eskpor impor, dan masalah penetapan harga. Tetapi, DEKON gagal mengatasi masalah ekonomi yang ada di Indonesia saat itu.
Pada tahun 1959, terjadi inflasi tinggi. Untuk mengatasinya, dibuatlah kebijakan perekonomian, yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3/1959 yang menetapkan pembekuan sebagian simpanan uang di bank-bank untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat, dan juga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 6/1959 yang menyatakan bahwa uang kertas yang masih berlaku dan telah dikonversi harus ditukar dengan uang kertas yang baru sebelum 1 Januari 1959.
Pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut mengakibatkan beberapa kendala. Pemerintah kemudian membentuk Panitia Penampung Operasi Keuangan (PPOK) untuk menangani masalah-masalah yang timbul. Tugas PPOK adalah untuk menindaklanjuti dampak pelaksanaan kebijakan perekonomian. Selain itu, pemerintah juga mengetatkan anggaran negara, dan mengawasi kinerja manajemen dan administrasi perusahaan swasta agar aliran dana kredit rupiah dapat mengalir lancar untuk membiayai kebijakan-kebijakan untuk kehidupan rakyat.
Setelah 4 bulan dijalankan, kondisi perekonomian membaik. Tetapi kondisi kembali memburuk pada Desember 1959. Kemunduran ini terjadi antara lain karena meningginya kembali peredaran uang di masyarakat, dan proyek mercusuar Ganefo (Games of the New Emerging Forces) pada 1962 yang menghabiskan banyak dana sehingga pembangunan moneter tidak diprioritaskan. Untuk menangani masalah ini, pemerintah mengubah Dewan Perancang Nasional menjadi Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk menyusun rencana perekonomian jangka panjang, mengawasi pelaksanaan pembangunan, juga mempersiapkan dan menilai mandataris untuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
Selain membentuk Bappenas, pemerintah juga megeluarkan beberapa kebijakan, yaitu Penetapan Presiden No. 7/1965 yang menetapkan pendirian Bank Tuggal Milik Negara yang bertujuan menyediakan wadah bagi arus perputaran siklus antarbank sentral dan umum, dan Penetapan Presiden RI No. 27/1965, 13 Desember 1965 tentang pengeluaran uang baru yang bernilai 1000 kali yang lama. Pengeluaran uang baru ini tidak memperbaiki masalah yang ada, tetapi sebaliknya mengakibatkan kemunduran ekonomi karena penurunan nilai uang dan pengeluaran pemerintah yang bertambah. Perekonomian Indonesia semakin mundur hingga tahun 1966.
Dalam bidang politik, perpindahan Demokrasi Parlementer menjadi Demokrasi Terpimpin ditandai oleh terpicunya potensi konflik internal. Hal ini disebabkan oleh tingginya benturan kepentingan antarkelompok politik di Indonesia. Puncaknya adalah dibubarkannya Konstituante karena kegagalan membuat Undang-Undang. Untuk mengatasinya, dikeluarkanlah Prt/Perperu/040/1959 yang berisi larangan bagi seluruh kegiatan atau aktivitas politik yang mulai berlaku sejak 3 Juni 1959. Kebuntuan kinerja konstituante ditutup dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit Presiden ini menyatakan pembubaran Konstituante, tidak berlakunya UUDS 1959 dan pemberlakuan kembali UUD 1945 sebagai UU resmi Negara Republik Indonesia, serta pembentukan MPRS dan DPAS dalam tempo secepatnya.
Pada 10 Juli 1959, presiden membentuk Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden Soekarno sebagai perdana menteri, dan Ir. Djuanda sebagai wakilnya. Kabinet Kerja ini dibuat untuk mengatasi keamanan dalam negeri, pembebasan Irian Barat, dan peningkatan produksi sandang pangan.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, semua lembaga harus berasal dari aliran NASAKOM (nasionalis, agama, dan komunis). Selain itu, menurut Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 tentang pembentukan MPRS, anggota-anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh presiden, dan harus memenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat anggota MPRS antara lain harus setuju kembali kepada UUD 1945, setuju pada perjuangan RI, dan setuju dengan Manifesto Politik. Selain MPRS, presiden juga membentuk badan-badan lain seperti Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Dewan Perancang Nasional (DEPERNAS), dan Front Nasional.
Pada upacara Peringatan Hari Proklamasi tanggal17 Agustus 1959, presiden Soekarno membawakan pidato dengan judul "Penemuan Kembali Revolusi Kita" yang berupa penjelasan dan pertanggungjawaban atas Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, serta garis kebijaksanaan presiden dalam mencanangkan Demokrasi Terpimpin. Kemudian, dalam sidang DPA pada September 1959, DPA mengusulkan agar pidato tersebut dijadikan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dengan nama Manifesto Politik Republik Indonesia (MANIPOL). Presiden Soekarno kemudian menerima usul ini.
Pada 5 Maret 1960, DPR dibubarkan berdasarkan hasil pemilu, dan digantikan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) pada Juni 1960. Anggota-anggota DPR-GR seluruhnya ditunjuk oleh presiden. Pada upacara pelantikan anggota DPR-GR, 25 Juni 1960, presiden menegaskan bahwa tugas DPR-GR adalah melaksanakan MANIPOL, merealisasti Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA), dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Kebijakan presiden ini menimbulkan reaksi dari partai-partai tertentu. Mereka merasa keberatan terhadap pembubaran DPR dan akan menarik pencalonan anggota-anggotanya yang duduk dalam DPR-GR. Para tokoh ini kemudian membentuk Liga Demokrasi, tetapi kinjera Liga Demokrasi kurang baik karena ketidaksamaan pendapat antara tokoh-tokoh partai politik tersebut. Presiden Soekarno kemudian mendirikan Front Nasional melalui Penetapan Presiden No. 13 Tahun 1959 dan diketuai oleh presiden sendiri. Front Nasional adalah organisasi yang memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita UUD 1945.
Selama periode Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin, Partai Komunis Indonesia (PKI) berusaha menempatkan diri dalam golongan yang menerima Pancasila sebagai dasar negara. Hal itu merupakan taktik PKI untuk mengambil alih kekuasaan di Indonesia. Kekuatan politik Indonesia saat itu terpusat pada tangan Presiden Soekarno, TNI AD, dan PKI. NASAKOM yang sebenarnya dimaksudkan merangkul kekuatan-kekuatan politik yang terus bersaing ternyata menguntungkan PKI. Kedudukan PKI kemudian semakin kuat, dan penghargaan pemerintah terhadap PKI terus bertambah. Hal ini terbukti dalam penempatan PKI di barisan depan Demokrasi Terpimpin oleh Presiden Soekarno. Selanjutnya, MANIPOL ditetapkan sebagai satu-satunya ajaran atau doktrin revolusi Indonesia. Fungsi Pancasila sebagai dasar negara menjadi kabur, dan situasi ini dimanfaatkan PKI untuk mengecilkan arti Pancasila.
Ternyata masalah ekonomi dan politik dalam Demokrasi Parlementer tidak semuanya terpecahkan dalam masa Demokrasi Terpimpin. Pada masa Demokrasi Terpimpin malah terbentuk masalah-masalah lain. Situasi yang mulai membaik kemudian menjadi semakin buruk dan menjadi sangat buruk. Padahal, perubahan sistem pemerintahan ini dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan negara.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan isi makalah diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
sistem-sistem pemerintahan yang sempat dianut Indonesia yaitu sistem demokrasi
parlemeter dan terpimpin masih belum berjalan dengan lancar dan tidak mencapai
tujuan yang diinginkan. Kita bisa melihat pada sistem demokrasi parlemeter jika
ditinjau dari segi politik, kinerja kabinet sering mengalami deadlock dan
ditentang oleh parlemen, lalu dari segi ekonomi yaitu proses nasionalisasi
ekonomi Indonesia tidak berjalan lancar karena konflik kepentingan politik
antarkelompok di dalam tubuh konstituante dan parlemen. Dan juga bahkan sistem
terpimpin yang merupakan pengganti sistem parlementer juga masih banyak
mengalami kendala-kendala. Dan menurut penulis hal ini dapat terjadi
karena demokrasi di Indonesia itu belum membudaya. Membudaya berarti telah
menjadi kebiasaan yang mendarah daging. Dengan kata lain, demokrasi telah
menjadi bagian yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari kehidupan kita.
Kita memang telah menganut demokrsai dan bahkan telah di praktekan
baik dalam keluarga, masyarakat, maupun dalam kehidupan bebangsa dan bernegara.
Akan tetapi, kita belum membudanyakannya. Di media massa kita sering mendengar
betapa sering warga negara, bahkan pemerintah itu sendiri, melanggar
nilai-nilai demokrasi. Orang-orang kurang menghargai kebabasan orang lain,
kurang menghargai perbedaan, supremasi hukum kurang ditegakan, kesamaan kurang
di praktekan, partisipasi warga negara atau orang perorang baik dalam kehidupan
sehari-hari maupun dalam kehidupan pilitik belum maksimal, musyawarah kurang
dipakai sebagai cara untuk merencanakan suatu program atau mengatasi suatu
masalah bersama, dan seterusnya. Bahkan dalam keluarga dan masyarakat kita
sendiri, nilai-nilai demokrasi itu kurang di praktekan. Oleh karena itu sebagai
warga negara Indonesia yang berdaulat dan menghargai satu sama lain sudah
selayaknya kita membudayakan demokrasi itu sendiri baik melalui keluarga kita,
lingkungan sekolah, tempak kerja, dan juga bagi negara kita Indonesia sehingga
pada akhirnya kita bisa melahirkan negara Indonesia yang demokratif dan tidak
membeda bedakan satu sama lain.
3.2 Saran
Untuk bisa mewujudkan demokrasi
di Indonesia memang tidak mudah, perlu ada usaha dan kerja keras untuk
mencapainya. Semua itu dapat terlaksana dengan baik apabila kita sebagai warga
negara memiliki niat dan usaha untuk memahami nilai-nilai demokrasi itu
sendiri, kemudian mempraktekannya dalam kehidupan kita sehari-hari secara terus
menerus dan membiasakannya.
Memahami nilai-nilai
demokrasi memerlukan pemberlajaran, yaitu belajar dari pengalaman negara-negara
yang telah mewujudkan budaya demokrasi dengan lebih baik dibandingkan kita.
Dalam usaha mempraktekan budaya demokrasi, kita kadang-kadang mengalami
kegagalan disana-sini, tetapi itu tidak mengendurkan niat kita untuk terus
berusaha memperbaikinya dari hari kehari. Suatu hari nanti, kita berharap bahwa
demokrasi telah benar-benar membudaya di tanah air kita, baik dalam kehidupan
berkeluarga, bermasyarakat, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.