Friday, 12 April 2013

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


          Kemerdekaan bangsa Indonesia adalah cita-cita rakyat Indonesia yang telah berhasil dicapai. Namun biarpun telah merdeka dan diakui di mata dunia bangsa Indonesia pada saat itu harus menentukan masa depannya sendiri. Pada masa itu di samping kemerdekaan telah diraih disisi lain banyak terdapat kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, dan tradisi-tradisi otoriter, maka banyak hal yang bergantung pada kearifan dan nasib baik pemimpin negeri. Dalam tahun 1950 kendali pemerintah masih di tangan kaum nasionalis perkotaan dari generasi yang lebih tua dari partai-partai sekuler. Masalah-masalah sosial yang dihadapi bangsa Indonesia setelah terlepas dari belenggu penjajah, sisa-sisa penderitaan rakyat mendorong para elite negeri untuk segera melakukan penataan dalam hal pemerintahan dan institusi.

         Untuk itu pada tahun 1950 Indonesia membentuk suatu sistem pemerintahan yaitu sistem demokrasi parlementer. Namun kenyataannya bahwa demokrasi parlementer masih belum bisa untuk menyelesaikan masalah-masalah yang masih terjadi di Indonesia dalam bidang ekonomi walaupun politik. Banyak terjadi korupsi, kesatuan wilayah mulai terancam, keadilan sosial belum tercapai, dll. Karena pada masa Demokrasi Parlementer, kondisi Indonesia rentan dan masih banyak masalah-masalah yang belum terselesaikan maka diberlakukanlah Demokrasi Terpimpin, yang adalah sebuah demokrasi yang sempat ada di Indonesia, yang seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya saja. Pada bulan 5 Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Presiden Soekarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden. Soekarno juga membubarkan Konstituante yang ditugasi untuk menyusun Undang-Undang Dasar yang baru, dan sebaliknya menyatakan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945 dengan semboyan "Kembali ke UUD '45". Soekarno memperkuat tangan Angkatan Bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Oleh karena itu, penulis akan membahas demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin secara lebih lanjut dan juga kekuatan dan kelemahan masing-masing sistem pemerintahan yang berlaku di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

          Berdasarkan latar belakang di atas, penulis menentukan beberapa rumusan masalah yaitu :

  1. Apa saja kelebihan sistem perlementer dan sistem demokrasi terpimpin terhadap kehidupan ekonomi dan politik bangsa Indonesia?
  2. Manakah sistem demokrasi yang lebih baik dalam memajukan kehidupan politik dan ekonomi bangsa Indonesia?

1.3 Tujuan

          Berdasarkan rumusan masalah diatas, penulis memiliki beberapa tujuan yang hendak dicapai, antara lain:
  1. Mengetahui kekuatan dan kelemahan masing-masing sistem demokrasi terhadap kehidupan politik dan ekonomi Indonesia.
  2. Mengetahui manakah sistem demokrasi yang lebih berpengaruh dalam memajukan kehidupan poltik Indonesia
  3. Mengetahui manakah sistem demokrasi yang lebih berpengaruh dalam memajukan kehidupan ekonomi Indonesia

1.4 Manfaat

          Melalui penulisan karya ilmiah ini, penulis mengharapkan agar makalah ini dapat bermanfaat bagi siswa, masyaralat, pemerintah yaitu :

  1. Membuka pemikiran siswa sebagai generasi penerus bangsa tentang sistem pemerintah demokrasi di Indonesia yang baik dan benar
  2.  Memperluas wawasan masyarakat tentang sistem pemerintahan demokrasi yang pernah berlaku di Indonesia
  3. Membantu pemerintah dalam menilai apakah sistem pemerintahan sekarang sudah lebih baik dari sebelumnya 
  4.  
    BAB II

         PEMBAHASAN



2.1 Demokrasi Parlementer

Sistem parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Sistem parlementer dibedakan oleh cabang eksekutif pemerintah tergantung dari dukungan secara langsung atau tidak langsung cabang legislatif atau parlemen, sering dikemukakan melalui sebuah veto keyakinan. Oleh karena itu, tidak ada pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang eksekutif dan cabang legislatif, menuju kritikan dari beberapa yang merasa kurangnya pemeriksaan dan keseimbangan yang ditemukan dalam sebuah republik kepresidenan.
Kelebihan Sistem Pemerintahan Parlementer:
  • Pembuat kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai.
  • Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik jelas.
  • Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi barhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.
Kekurangan Sistem Pemerintahan Parlementer:
  • Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
  • Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bisa ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar.
  • Kabinet dapat mengendalikan parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai meyoritas. Karena pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat mengusai parlemen.
  • Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan manjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.
Ditinjau dari sisi politik, Demokrasi Parlementer diwarnai oleh pemerintahan dengan tujuh masa kabinet yang berbeda, kabinet-kabinet ini bertanggung jawab secara langsung kepada parlemen. Namun, kinerja kabinet sering mengalami deadlock dan ditentang oleh parlemen. Hal itu disebabkan oleh kelompok oposisi yang kuat sehingga mengakibatkan timbulnya konflik kepentingan dalam proses perumusan kebijakan Negara. Ketujuh kabinet tersebut antara lain :
1.      Kabinet Natsir (6-09-1950 sampai 18-04-1951)
Berhasil memetakan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif selain itu Indonesia juga masuk menjadi anggota PBB. Namun Kabinet Natsir gagal melakukan perundingan dengan Belanda tentang masalah Irian Barat dan mengakibatkan muncul mosi tidak percaya Kabinet Natsir di parlemen.

2.      Kabinet Sukiman ( 26-04-1951 sampai 1952)
Dalam masa kabinet ini, banyak hambatan yang terjadi seperti keamanan Negara belum stabil, adanya persetuan antar berbagai elemen politik dan permasalahan politik luar neger Indonesia. Kabinet ini gagal dalam menangani masalah kemanan karena membuat Indonesia memihak kepada Blok Barat dengan menandatangani Mutual Security Act dengan Amerika Serikat.

3.      Kabinet Wilopo (19-03-1952 sampai Juni 1953)
Kabinet ini juga memiliki banyak hambatan dalam menjalankan tugasnya antara lain munculnya sentimen kedaerahan, adanya konflik di tubuh angkatan darat, dan terjadinya peristiwa Tanjung Morawa. Karena banyaknya hambatan, kabinet ini berakhir dengan pengembalian mandate oleh Wilopo.

4.      Kabinet Ali Sastroamidjojo (31-07-1953 sampai 24-07-1955)
Berhasil menyusun kerangka panitia pelaksanaan pemilu, sukses melaksanakan Konferensi Asia Afrika, membaiknya hubungan dengan Cina. Namun, kabinet ini harus bubar karenan gagal dalam memperjuangkan Irian barat ke dalam Negara Indonesia, muncul banyak pemberontakan, dan berlanjutnya konflik di tubuh Angkatan Darat.

5.      Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955 sampai 3-03-1956)
Berhasil menyelenggarakan pemilu tahun 1955, membubarkan Uni Indonesia-Belanda, dan berhasil menentukan sistem parlemen di Indonesia. Namun, kabinet ini harus bubar karena terjadi banyak perseteruan antara pemenang pemilu yang menyebabkan siding parlemen menjadi deadlock.

6.      Kabinet Ali Sastroamidjojo II ( 24-03-1956 sampai 14-03-1957)
Berhasil mengalihkan perusahaan Belanda menjadi milik warga Tionghoa namun kabinet ini harus bubar karena muncul sentiment anti-cina dan muncul kekecewaan pemerintah terhadap pemerintah pusat, serta munculnya gerakan separatis di berbagai daerah.

7.      Kabinet Karya (9-04-1957 sampai 10-07-1959)
Berhasil membersihkan pejabat-pejabat yang melakukan korupsi, berhasil membentuk dewan nasional penampung aspirasi rakyat, menetapkan peraturan kelautan yang tertuang dalam Deklarasi Djuanda. Namun, kabinet ini harus bubar karena terjadi banyak pemberontakan separatis di daerah-daerah.

Sistem Parlementer juga diwarnai dengan gagalnya konstituante (lembaga pembentuk UUD) dalam membuat UUD yang baru bagi Indonesia. Pada 20 November 1956 konstituante mulai bersidang untuk pertama kalinya dan Soekarno memberikan kewenangan untuk menyusun UUD tanpa adanya batas masa kerja.
            Pada tanggal 29 Mei 1959 ada usulan dari kelompok islam untuk memasukan kembali butir Piagam Jakarta yang menyatakan “dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya” di dalam preambule UUD 1945. Ketika diambil pengambilan suara tidak  mencapai kuorum yang seharusnya 2/3 dari total suara yang hadir. Maka dari itu, Konstituate pun mengadakan pemungutan suara kembali pada 30 Mei 1959 dan tidak juga memenuhi kuorum dan dilaksanakan kembali pada 2 Juni 1959 dan tidak mencapai kuorum kembali. Maka dari itu, pada 3 Juni 1959 konstituante memutuskan untuk reses.
            Ditinjau dari sisi ekonomi, adanya proses nasionalisasi ekonomi yang dilakukan pemerintah, yaitu nasionalisasi de Javasche Bank menjadi Bank Indonesia, pembentukan Bank Indonesia, dam memberlakukan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Pembentukan Bank Negara Indonesia sebagai bank nasional pertama Indonesia dukukuhkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2/1946 yang terjadi pada 5 Juli 1946 yang berisi tentang Bank Indonesia yang berfungsi sebagai bank sentral dan sirkulasi.
            UU itu diperkuat dengan UU No. 11/1953 dan Lembaran Negara No. 40 yang menyatakan bahwa menteri keuangan, perekonomian, dan gubernur bank menjadi direksi yang berfungsi melancarkan percepatan peningkatan taraf ekonomi dan moneter Negara. Selain itu, pemerintah melakukan nasionalisasi mata uang dengan menukar mata uang Jepang ke mata uang Indonesia yang disebut dengan Oeang Repoeblik Indonesia pada tanggal 1-10-1946 dan dikukuhkan dalam UU No. 17/1946 dan UU No. 19/1946.
            Pada masa demokrasi ini, proses nasionaliasai ekonomi Indonesia tidak berjalan lancar karena konflik kepentingan politik antarkelompok di dalam tubuh konstituante dan parlemen. Sebagai contoh dapat terlihat pada masa Kabinet Ali II. Dengan ditandatanganinya UU Pembatalan Konferensi Meja Bundar oleh Soekarno berakibat pindahnya aset-aset modal yang dimiliki pengusaha Belanda ke tangan pengusaha nonpribumi. Hal ini berdampak pada kondisi sosial yang timpang. Maka dari itu, Kongres Nasional Importir Indonesia mengeluarkan sebuah kebijakan Gerakan Assaat yang mendorong pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang dapat melindungi pengusaha pribumi dalam berdaya saing dengan pengusaha nonpribumi.


2.2 Demokrasi Terpimpin

           Untuk menangani masalah-masalah yang masih ada, Indonesia merubah sistem pemerintahannya menjadi Demokrasi Terpimpin. Tetapi, dalam masa Demokrasi Terpimpin tidak semua masalah terpecahkan, bahkan ada masalah-masalah lain yang bertambah. Semua masalah ini terjadi karena pemerintah memegang seluruh kendali, dan terjadinya pertentangan antara kebijakan dari presiden dan kebijakan berdasar undang-undang yang terjadi karena presiden memiliki kewenangan dalam membuat peraturan yang setingkat dengan undang-undang.
           Pada dasarnya, perkembangan kehidupan perekonomian dalam Demokrasi Terpimpin adalah pengembangan rencana-rencana pembangunan di masa demokrasi parlementer. Dewan Perancang Nasional yang sudah ada sejak kabinet Djuanda (Demokrasi Parlementer) bertugas meningkatkan taraf ekonomi bangsa. Dewan Perancang Nasional ini bertugas dalam mempersiapkan rancangan UU Pembangunan Nasional Indonesia yang berencana dan bertahap, serta mengawasi dan menilai penyelenggaraan proses pembangunan. Tugas Dewan Perancang Nasional ini ditetapkan dalam UU No. 80/1958 dan Peraturan Pemerintah No. 2/1958. Kebijakan-kebijakannya mulai diterapkan pada 1959, ketika diresmikan serta dipimpin oleh Moh. Yamin.
          Pada masa Demokrasi Terpimpin, pemerintah menjalankan "Sistem Lisensi" dimana hanya orang-orang dengan lisensi khusus pemerintah sajalah yang dapat melakukan kegiatan ekonomi (terutama impr). Setelah itu, pemerintah juga mengumumkan Deklarasi Ekonomi (DEKON) yang mengandung peraturan eskpor impor, dan masalah penetapan harga. Tetapi, DEKON gagal mengatasi masalah ekonomi yang ada di Indonesia saat itu.
          Pada tahun 1959, terjadi inflasi tinggi. Untuk mengatasinya, dibuatlah kebijakan perekonomian, yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3/1959 yang menetapkan pembekuan sebagian simpanan uang di bank-bank untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat, dan juga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 6/1959 yang menyatakan bahwa uang kertas yang masih berlaku dan telah dikonversi harus ditukar dengan uang kertas yang baru sebelum 1 Januari 1959.
          Pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut mengakibatkan beberapa kendala. Pemerintah kemudian membentuk Panitia Penampung Operasi Keuangan (PPOK) untuk menangani masalah-masalah yang timbul. Tugas PPOK adalah untuk menindaklanjuti dampak pelaksanaan kebijakan perekonomian. Selain itu, pemerintah juga mengetatkan anggaran negara, dan mengawasi kinerja manajemen dan administrasi perusahaan swasta agar aliran dana kredit rupiah dapat mengalir lancar untuk membiayai kebijakan-kebijakan untuk kehidupan rakyat.
          Setelah 4 bulan dijalankan, kondisi perekonomian membaik. Tetapi kondisi kembali memburuk pada Desember 1959. Kemunduran ini terjadi antara lain karena meningginya kembali peredaran uang di masyarakat, dan proyek mercusuar Ganefo (Games of  the New Emerging Forces) pada 1962 yang menghabiskan banyak dana sehingga pembangunan moneter tidak diprioritaskan. Untuk menangani masalah ini, pemerintah mengubah Dewan Perancang Nasional menjadi Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk menyusun rencana perekonomian jangka panjang, mengawasi pelaksanaan pembangunan, juga mempersiapkan dan menilai mandataris untuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
          Selain membentuk Bappenas, pemerintah juga megeluarkan beberapa kebijakan, yaitu Penetapan Presiden No. 7/1965 yang menetapkan pendirian Bank Tuggal Milik Negara yang bertujuan menyediakan wadah bagi arus perputaran siklus antarbank sentral dan umum, dan Penetapan Presiden RI No. 27/1965, 13 Desember 1965 tentang pengeluaran uang baru yang bernilai 1000 kali yang lama. Pengeluaran uang baru ini tidak memperbaiki masalah yang ada, tetapi sebaliknya mengakibatkan kemunduran ekonomi karena penurunan nilai uang dan pengeluaran pemerintah yang bertambah. Perekonomian Indonesia semakin mundur hingga tahun 1966.
          Dalam bidang politik, perpindahan Demokrasi Parlementer menjadi Demokrasi Terpimpin ditandai oleh terpicunya potensi konflik internal. Hal ini disebabkan oleh tingginya benturan kepentingan antarkelompok politik di Indonesia. Puncaknya adalah dibubarkannya Konstituante karena kegagalan membuat Undang-Undang. Untuk mengatasinya, dikeluarkanlah Prt/Perperu/040/1959 yang berisi larangan bagi seluruh kegiatan atau aktivitas politik yang mulai berlaku sejak 3 Juni 1959. Kebuntuan kinerja konstituante ditutup dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit Presiden ini menyatakan pembubaran Konstituante, tidak berlakunya UUDS 1959 dan pemberlakuan kembali UUD 1945 sebagai UU resmi Negara Republik Indonesia, serta pembentukan MPRS dan DPAS dalam tempo secepatnya.
          Pada 10 Juli 1959, presiden membentuk Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden Soekarno sebagai perdana menteri, dan Ir. Djuanda sebagai wakilnya. Kabinet Kerja ini dibuat untuk mengatasi keamanan dalam negeri, pembebasan Irian Barat, dan peningkatan produksi sandang pangan.
          Pada masa Demokrasi Terpimpin, semua lembaga harus berasal dari aliran NASAKOM (nasionalis, agama, dan komunis). Selain itu, menurut Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 tentang pembentukan MPRS, anggota-anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh presiden, dan harus memenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat anggota MPRS antara lain harus setuju kembali kepada UUD 1945, setuju pada perjuangan RI, dan setuju dengan Manifesto Politik. Selain MPRS, presiden juga membentuk badan-badan lain seperti Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Dewan Perancang Nasional (DEPERNAS), dan Front Nasional.
          Pada upacara Peringatan Hari Proklamasi tanggal17 Agustus 1959, presiden Soekarno membawakan pidato dengan judul "Penemuan Kembali Revolusi Kita" yang berupa penjelasan dan pertanggungjawaban atas Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, serta garis kebijaksanaan presiden dalam mencanangkan Demokrasi Terpimpin. Kemudian, dalam sidang DPA pada September 1959, DPA mengusulkan agar pidato tersebut dijadikan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dengan nama Manifesto Politik Republik Indonesia (MANIPOL). Presiden Soekarno kemudian menerima usul ini.
          Pada 5 Maret 1960, DPR dibubarkan berdasarkan hasil pemilu, dan digantikan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) pada Juni 1960. Anggota-anggota DPR-GR seluruhnya ditunjuk oleh presiden. Pada upacara pelantikan anggota DPR-GR, 25 Juni 1960, presiden menegaskan bahwa tugas DPR-GR adalah melaksanakan MANIPOL, merealisasti Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA), dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Kebijakan presiden ini menimbulkan reaksi dari partai-partai tertentu. Mereka merasa keberatan terhadap pembubaran DPR dan akan menarik pencalonan anggota-anggotanya yang duduk dalam DPR-GR. Para tokoh ini kemudian membentuk Liga Demokrasi, tetapi kinjera Liga Demokrasi kurang baik karena ketidaksamaan pendapat antara tokoh-tokoh partai politik tersebut. Presiden Soekarno kemudian mendirikan Front Nasional melalui Penetapan Presiden No. 13 Tahun 1959 dan diketuai oleh presiden sendiri. Front Nasional adalah organisasi yang memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita UUD 1945.
          Selama periode Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin, Partai Komunis Indonesia (PKI) berusaha menempatkan diri dalam golongan yang menerima Pancasila sebagai dasar negara. Hal itu merupakan taktik PKI untuk mengambil alih kekuasaan di Indonesia. Kekuatan politik Indonesia saat itu terpusat pada tangan Presiden Soekarno, TNI AD, dan PKI. NASAKOM yang sebenarnya dimaksudkan merangkul kekuatan-kekuatan politik yang terus bersaing ternyata menguntungkan PKI. Kedudukan PKI kemudian semakin kuat, dan penghargaan pemerintah terhadap PKI terus bertambah. Hal ini terbukti dalam penempatan PKI di barisan depan Demokrasi Terpimpin oleh Presiden Soekarno. Selanjutnya, MANIPOL ditetapkan sebagai satu-satunya ajaran atau doktrin revolusi Indonesia. Fungsi Pancasila sebagai dasar negara menjadi kabur, dan situasi ini dimanfaatkan PKI untuk mengecilkan arti Pancasila.
          Ternyata masalah ekonomi dan politik dalam Demokrasi Parlementer tidak semuanya terpecahkan dalam masa Demokrasi Terpimpin. Pada masa Demokrasi Terpimpin malah terbentuk masalah-masalah lain. Situasi yang mulai membaik kemudian menjadi semakin buruk dan menjadi sangat buruk. Padahal, perubahan sistem pemerintahan ini dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan negara.



BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan isi makalah diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa sistem-sistem pemerintahan yang sempat dianut Indonesia yaitu sistem demokrasi parlemeter dan terpimpin masih belum berjalan dengan lancar dan tidak mencapai tujuan yang diinginkan. Kita bisa melihat pada sistem demokrasi parlemeter jika ditinjau dari segi politik, kinerja kabinet sering mengalami deadlock dan ditentang oleh parlemen, lalu dari segi ekonomi yaitu proses nasionalisasi ekonomi Indonesia tidak berjalan lancar karena konflik kepentingan politik antarkelompok di dalam tubuh konstituante dan parlemen. Dan juga bahkan sistem terpimpin yang merupakan pengganti sistem parlementer juga masih banyak mengalami kendala-kendala. Dan menurut penulis hal ini dapat terjadi karena demokrasi di Indonesia itu belum membudaya. Membudaya berarti telah menjadi kebiasaan yang mendarah daging. Dengan kata lain, demokrasi telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari kehidupan kita.
Kita memang telah menganut demokrsai dan bahkan telah di praktekan baik dalam keluarga, masyarakat, maupun dalam kehidupan bebangsa dan bernegara. Akan tetapi, kita belum membudanyakannya. Di media massa kita sering mendengar betapa sering warga negara, bahkan pemerintah itu sendiri, melanggar nilai-nilai demokrasi. Orang-orang kurang menghargai kebabasan orang lain, kurang menghargai perbedaan, supremasi hukum kurang ditegakan, kesamaan kurang di praktekan, partisipasi warga negara atau orang perorang baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan pilitik belum maksimal, musyawarah kurang dipakai sebagai cara untuk merencanakan suatu program atau mengatasi suatu masalah bersama, dan seterusnya. Bahkan dalam keluarga dan masyarakat kita sendiri, nilai-nilai demokrasi itu kurang di praktekan. Oleh karena itu sebagai warga negara Indonesia yang berdaulat dan menghargai satu sama lain sudah selayaknya kita membudayakan demokrasi itu sendiri baik melalui keluarga kita, lingkungan sekolah, tempak kerja, dan juga bagi negara kita Indonesia sehingga pada akhirnya kita bisa melahirkan negara Indonesia yang demokratif dan tidak membeda bedakan satu sama lain.

3.2 Saran 
Untuk bisa mewujudkan demokrasi di Indonesia memang tidak mudah, perlu ada usaha dan kerja keras untuk mencapainya. Semua itu dapat terlaksana dengan baik apabila kita sebagai warga negara memiliki niat dan usaha untuk memahami nilai-nilai demokrasi itu sendiri, kemudian mempraktekannya dalam kehidupan kita sehari-hari secara terus menerus dan membiasakannya.
Memahami nilai-nilai demokrasi memerlukan pemberlajaran, yaitu belajar dari pengalaman negara-negara yang telah mewujudkan budaya demokrasi dengan lebih baik dibandingkan kita. Dalam usaha mempraktekan budaya demokrasi, kita kadang-kadang mengalami kegagalan disana-sini, tetapi itu tidak mengendurkan niat kita untuk terus berusaha memperbaikinya dari hari kehari. Suatu hari nanti, kita berharap bahwa demokrasi telah benar-benar membudaya di tanah air kita, baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

No comments:

Post a Comment